Sungkeman berasal dari kata sungkem yang maknanya bersimpuh atau duduk berjongkok sambil mencium tangan. Biasanya sungkeman dilakukan oleh orang muda kepada orang tua, namun lazimnya hal ini dilakukan oleh seorang anak kepada orang tua mereka. Bagi orang Jawa sungkeman merupakan tradisi turun temurun.Sejarah halal bihalal berawal dari tradisi sungkeman di Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangku Negaran.
Dalam catatan sejarah, tradisi sungkeman pertama kali didokumentasikan dan dilembagakan pada masa KGPAA Sri Mangkunegara I. Saat itu, beliau bersama seluruh punggawanya berkumpul bersama dan saling bermaafan setelah Sholat Id. Namun karena situasi politik dan keamanan saat itu, menyebabkan pihak istana tak leluasa menggelar tradisi sungkeman. Kolonial Belanda mencurigainya sebagai pertemuan terselubung untuk melawan mereka.
Bahkan dikisahkan, saat terjadi prosesi sungkeman di Gedung Habipraya, Singosaren, saat Lebaran tahun 1930, Belanda nyaris saja menangkap Ir. Soekarno, dan dr. R. Radjiman Widyodiningrat yang merupakan dokter pribadi SISKS Pakubuwono (PB) X, Raja Keraton Surakarta. Sontak PB X yang juga berada di lokasi pada saat itu, langsung spontan menjawab jika itu bukan aksi penggalangan masa, tapi halal-bihalal/sungkeman saat Lebaran. Namun karena peristiwa itulah, akhirnya PB X justru malah membuka tradisi sungkeman menjadi semacam open house seperti sekarang.
Pada umumnya sungkeman dilakukan saat lebaran pertama, misalnya seorang cucu yang ingin sungkem kepada neneknya akan menghadap sang nenek dan duduk bersimpuh di depan nenek, kemudian cucu mengucapkan kalimat sungkeman dalam bahasa Jawa. “Ngaturaken sugeng riyadi, nyuwun pangapunten sedaya kalepatan kula, nyuwun tambahing pangestu nggih”. (Saya mengucapkan selamat hari raya, mohon dimaafkan atas segala kesalahan saya, dan minta doa restunya).
Semoga tradisi sungkeman bisa kita jaga dan lestarikan, karena tradisi ini merupakan salah satu kearifan lokal yang mulia yang layak menjadi kebanggaan Indonesia. @solozamandulu