Kesenian sandur kapan terakhir nonton rasanya sudah lama sekali atau kesenian ini sudah mati, tergerus perubahan jaman dan kesenian dari negri lain?? Entahlah, namun jika itu benar terjadi sungguh disayangkan, Budaya asli nenek moyang kita harus punah dan tergerus oleh budaya asing.
Terakhir kali saya melihat pertunjukan sandur di masa kecil, sekitar usia 9 atau 10 tahunan, dan pertunjukan sandur itu tidak pernah saya lihat dan saya dengar lagi hingga usia saya menginjak 45 tahunan.
Dulu ditempat saya tinggal, tepatnya di tetangga desa ada group sandur. Saya hanya melihat dan membaca papan nama yang ditempelkan di depan rumah, entah namanya apa, saya lupa. Sebenarnya saya juga sayup-sayup mendengar, ada sandur di wilayah Tuban bagian timur, tapi saya juga belum pernah mendengar pentas sandur. Jadi, saya mengambil kesimpulan sementara bahwa Sandur Tuban mati suri.
Sandur adalah jenis kesenian teater tradisional yang populer di wilayah Tuban dan Sekitarnya, berbentuk drama tari dengan mengambil cerita lokal. Secara umum, kesenian teater ini tidak berbeda dengan teater tradisional lainnya yang bersifat sederhana dalam penyajiannya.
Daya tarik dari pertunjukan kesenian tradisional ini terletak pada kemampuannya sebagai pembangun dan pemelihara kebersamaan kelompok serta menjaga nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat.
Kesenian ini mengajarkan budi pekerti, tolong-menolong, dan tenggang rasa pada setiap pertunjukannya. Juga terdapat nilai-nilai di dalamnya seperti nilai edukatif, nilai moral, nilai keindahan, nilai religius, nilai hiburan dan nilai seni.
Pada mulanya Sandur berasal dari hiburan masyarakat agraris seusai lelah seharian bekerja di sawah kemudian berkembang menjadi produk kesenian yang bertumpu pada upacara ritual. Di dalamnya terdapat unsur cerita (drama), tari, karawitan, akrobatik (kalongking) juga terdapat unsur-unsur mistis, karena dalam setiap pementasannya selalu menghadirkan danyang (roh halus).
Sebagai upacara ritual, pertunjukan diadakan di tanah lapang sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang dicapai. Tidak diketahui bagaimana asal muasal sandur, namun para pelaku meyakini sandur sudah ada sejak zaman kerajaan yang terkait dengan kepercayaan animisme. Kata Sandur itu sendiri berasal dari kata san yang berarti selesai panen (isan) dan dhur yang berarti ngedhur (sampai habis).
Sandur adalah seni pertunjukan rakyat yang sederhana. Bentuk pementasannya hanya dilakukan di tanah lapang dan dibatasi pagar tali berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 8 x 8 meter yang disebut Blabar Janur Kuning, diberi hiasan lengkungan janur kuning dan digantungi aneka jajan pasar, ketupat dan lontong ketan atau lepet.
Dua batang bambu ori ditancapkan dengan ketinggian kurang lebih 10 sampai 12 meter, dan di antara bambu tersebut dipasang tali besar yang menghubungkan keduanya untuk adegan Kalongking yang mistis.
Tata cahaya menggunakan obor mrutu sewu, yaitu sejenis obor yang lubang untuk menyalakan apinya terdapat lebih dari 3 lubang. Obor ini terbuat dari bambu ori, dipasang di sekeliling arena pertunjukan.
Kemudian dibacakan mantera dan sesaji dengan tujuan agar acara dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Sesaji yang dipersiapkan antara lain, beras, dupa, cikalan yang bagian tengahnya diberi gula merah, kembang setaman dan kembang boreh. Durasi pertunjukan Sandur tidak memiliki batas waktu tertentu, bisa disajikan 3 hingga 5 jam pertunjukan.
Namun Sandur sebagai ritual biasanya disajikan pada malam hari mulai pukul 21.00 WIB hingga selesai menjelang subuh atau sekitar jam 03.00 WIB. Jumlah pendukung pementasan sekitar 20 sampai 25 orang, yang terbagi dalam perannya masing-masing yaitu, 2 orang sebagai pemain musik atau Panjak Kendang dan Panjak Gong, 10 sampai 15 orang sebagai Panjak Hore, 1 orang pemain Jaranan dan 1 orang Srati (pawang/dukun), 5 orang sebagai pemeran tokoh (Germo, Cawik, Pethak, Balong, Tangsil) dan 1 orang sebagai pemain Kalongking.
Pemilihan pemain untuk tokoh Balong, Pethak, Cawik dan Tangsil tersebut adalah empat anak laki-laki yang belum dikhitan karena dianggap masih suci. Instrumen musik yang digunakan adalah Gong Bumbung dan sebuah Kendang Batangan/Ciblon yang dibantu dengan Panjak Hore dan berperan sebagai pelantun tembang serta tukang senggak.
Tembang yang digunakan dalam seni pertunjukan Sandur sangat fungsional, selain sebagai pengiring keluar-masuknya pemain juga berfungsi sebagai mantera pemanggil roh halus.
Sedangkan kostum dalam Sandur membedakan karakter peran satu dengan karakter peran lainnya.
Kostum yang digunakan oleh para peran merupakan ciri bagi pemerannya yang mempunyai sifat khusus. Sandur terdiri dari delapan adegan yang terdapat dalam tiga babak, sedangkan pergantian babak selalu ditandai dengan tembang yang dilantunkan oleh Panjak Hore.
Dalam seni pertunjukan Sandur tembang berfungsi sebagai pengiring keluar masuknya peran dan pergantian adegan, selain itu tembang juga berfungsi sebagai mantera pemanggil roh atau bidadari. Fungsi yang lain adalah sebagai narasi perjalanan tokoh peran.
Sandur ini hanya mempunyai satu lakon atau cerita yaitu hanya menceritakan tentang pertanian berdasarkan cerita turun temurun dan mitos yang berkembang di daerah tersebut. Dalam pertunjukan Sandur ini biasanya dilakukan dengan berjalan memutar searah dengan jarum jam dalam sebuah tanah lapang.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Ngoko tetapi tidak jarang juga menggunakan bahasa Jawa Krama. Disela-sela pementasan juga ada sebuah parikan atau pepatah yang disampaikan seperti cangkriman dan dandang gulo.
Pepatah ini berusaha untuk menasehati manusia yang hidup di dunia intinya adalah kita hidup sebagai makhluk sosial tidak boleh semena-mena, harus berhati-hati, tidak boleh sombong dan harus bersedia hidup bergantian dengan yang lain. Kita hidup di dunia juga membutuhkan orang lain.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kesenian ini mempunyai arti yaitu kehidupan masyarakat pertanian tradisional yang di dalamnya terdapat berbagai macam kejadian. Ada tahap-tahapan yang menceritakan kehidupan manusia dari dalam kandungan manusia hingga meninggal dunia. (dari pelbagai sumber)