Kaitan sejarah perjuangan Bupati Tuban ke-8, RH. Wilwatekta dalam menyebarkan agama Islam di Bumi Wali sebutan kota Tuban, memang cukup beragam. Salah satunya dengan sejarah berdirinya atau asal-usul Desa Klakeh, Kecamatan Bangilan.
Dituturkan oleh para pendahulu, sejarah Desa Klakeh ada kaitannya saat Kabupaten Tuban dipimpin oleh RH. Wilwatekta. Pada saat itu Islam telah masuk dan mulai menyebar di wilayah Tuban, baik di kalangan para pejabat maupun rakyat jelata.
Bahkan, putra dari Bupati Tuban yang bernama Raden Syahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga, salah satu dari dewan Walisongo, penyebar agama Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa. Hal ini tentu tidak lepas dari peran para wali yang menyebarkan Islam dengan cara damai dan penuh hikmah, sehingga rakyat dengan suka rela berbondong-bondong masuk ke dalam agama Islam.
Adalah Sunan Ampel yang berjasa dan memiliki andil ikut serta membimbing rakyat sehingga mereka bisa mendalami ajaran Islam. Tidak aneh memang, jika Sunan Ampel memiliki perhatian besar di Kabupaten Tuban, karena ayahnya yaitu Syeikh Asmaraqandi dimakamkan di desa Gesikharjo, Palang Tuban. Sunan Ampel kemudian menugaskan anaknya, yaitu Sunan Bonang untuk berdakwah dan mendirikan pesantren di Kabupaten Tuban.
Rakyat Tuban semakin hari semakin banyak yang masuk agama Islam, sebab RH. Wilwatekta sendiri juga telah memeluk agama Islam. Lazimnya masyarakat pemeluk agama Islam, mereka membutuhkan tempat untuk beribadah dan juga untuk keperluan-keperluan lain yang menyangkut syi’ar ajaran Islam.
Maka atas restu dari Tumenggung Wilwatikto, sebutan Bupati Tuban ke-8 itu, masyarakat memiliki gagasan untuk mendirikan sebuah Masjid. Selanjutnya beliau memerintahkan salah satu punggawa Kabupaten Tuban yang bernama Nala Derma untuk mencari kayu Jati yang bagus sebagai bahan untuk membuat masjid di Tuban.
Berangkatlah Nala Derma untuk mencari kayu Jati yang bagus, agar Masjid yang akan dibangun nanti tidak mengecewakan. Menjalankan titah Tumenggung, ia berangkat untuk mencari kayu-kayu yang akan dipakai untuk pembuatan Masjid, di tlatah Kabupaten Tuban bagian selatan. Sebab waktu itu hutan-hutan di wilayah selatan Tuban masih sangat lebat.
Nala Derma berangkat dan membawa prajurit dari kabupaten secukupnya untuk membantu tugasnya. Selain membawa prajurit, ia juga akan mengajak ikut serta istrinya yang bernama Subandiyah. Sebab tugas yang diemban memakan waktu yang cukup lama. Dengan segala perbekalan serta perlengkapan ia bersama rombongan pergi mencari kayu jati sesuai permintaan Tumenggung.
Bersama Subandiyah dan prajurit kabupaten, Nala Derma pergi menempuh perjalanan ke wilayah barat Kabupaten Tuban. Dengan menyusuri hutan-hutan belantara untuk mencari kayu jati guna pembangunan masjid.
Rombongan itu melewati Merakurak, menerjang hutan Koro, mendaki bukit-bukit kapur di wilayah Montong, hingga sampai di perbukitan di Singgahan. Namun Nala Derma belum menemukan kayu jati yang bagus dan cocok untuk bahan membuat Masjid.
Mereka kemudian berhenti sejenak di sebuah lembah yang memiliki mata air yang sangat jernih. Karena haus dan lapar, mereka minum dari mata air di bawah pohon besar sambil membuka perbekalan.
Di lembah itu banyak sekali pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, walau hari sudah siang, namun udaranya sangat sejuk. Burung-burung bernyanyi di dahan-dahannya yang kokoh, suara binatang hutan bersuara bergantian, monyet liar berloncatan ke sana kemari melihat ada serombongan manusia yang memasuki wilayahnya.
Pohon-pohon di sekitarnya sangat besar dan tinggi, namun sayangnya itu bukan pohon jati yang mereka cari. Karena pohon jati yang mereka cari tidak ada, rombongan melanjutkan perjalanan terus menembus hutan hingga sampai di wilayah Bangilan.
Setelah menikmati perbekalan dan meneguk jernihnya mata air di lembah itu, akhirnya rombongan Nala Derma melanjutkan perjalanan ke arah barat daya. Rombongan itu terus berjalan hingga sampai di sebuah perkampungan kecil Dusun Bangilan. Di tengah perjalanan Nala Derma bertanya kepada penduduk mengenai pohon-pohon jati yang ia cari.
Atas saran dari salah satu penduduk yang ditemuinya, mereka disuruh terus melanjutkan perjalanan ke arah barat daya. Di sana banyak pohon jati yang tinggi-tinggi dan besar. Pohon itu sangat bagus kata salah satu penduduk tadi. Rombongan pun melanjutkan perjalanan hingga hari menjelang sore.
Hutan tersebut sangat lebat, pohon jatinya juga sangat banyak, dan di hutan Bangilan itulah tempatnya kayu jati yang mereka cari. Pohon-pohon jati di situ sangat lurus, tinggi menjulang langit dan besar. Rombongan memutuskan berhenti, hari sudah menjelang sore, seluruh para prajurit membuat kemah, dan istirahat.
Pagi-pagi sekali Nala Derma beserta rombongannya telah bangun, mereka segera membagi tugas, ada yang bagian memasak untuk sarapan pagi dan adapula yang langsung ikut Nala Kerta mencari dan menebang pohon jati yang akan dijadikan bahan bangunan Masjid.
Karena pada saat itu musim kemarau, prajurit yang kebagian masak kesulitan mencari air, dengan terpaksa mereka kemudian menggali tanah untuk dijadikan sumur. Untung saja di dekat mereka berkemah, tanah yang digali mengeluarkan sumber air. Oleh masyarakat setempat sumur itu dinamakan sumur Kijing, dan hingga sekarang sumur tersebut masih ada.
Para rajurit yang lainnya segera bergerak di bawah komando Nala Kerta, dengan cekatan mereka menebang sebuah pohon jati yang paling besar diantara pohon yang lainnya. Namun tiba-tiba ada kejadian aneh yang membuat para prajurit ketakutan dan tidak berani untuk menebang pohon.
“Para prajurit tidak ada yang berani mendekati pohon itu, banyak binatang yang mengerubunginya, seakan-akan binatang-binatang Kala (penyengat) melindungi pohon yang akan kita tebang,” sambung Nala Kerto.
Nala Derma yang berada tidak jauh dari lokasi penebangan segera mendekat, dia melihat banyak binatang Kala yang mengerumuni pohon jati itu, ada Kala Jengking, Kala Umeng, Kala Ketonggeng, Kala Klabang, Kala Seremende, dan binatang Kala lainnya.
Melihat hal itu, kemudian Nala Derma mengheningkan cipta memohon bantuan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan penuh khusyuk Nala Derma membaca do’a.
Setelah Nala Derma selesai membaca do’a, tiba-tiba binatang-binatang yang mengerumuni pohon jati yang akan ditebang oleh para prajurit musnah seketika tanpa bekas. Tuhan telah mengabulkan permintaan dari Nala Derma.
Sebagai pengingat-ingat untuk anak cucu, ketika kita akan menebang pohon jati ini, kemudian dihalang-halangi oleh binatang-bintang Kala, maka tempat ini ramai dihuni oleh penduduk namakan menjadi ‘Klakeh’ dari kata “Kalane akeh”.
Demikian sejarah atau asal-usul nama Desa Klakeh yang dituturkan secara turun temurun di Kecamatan Bangilan Kabupaten Tuban. (adm)
*Narasumber: Sisparlan, Perangkat Desa (Kadus Klakeh)